MIKROBA Clostridium botulinum PENYEBAB MAKANAN KALENG RUSAK ATAU PENYOK SALAH SATU CONTOH MAKANAN KALENGAN SARDEN ATAUPUN SUSU KALENG
Depertemen Keilmiahan Divisi Keilmuan
Unit Penelitian Ilmiah Fakultas Biologi Universitas
Jenderal Soedirman
UPI FABIO UNSOED
UPI PEDIA LITERATUR
Pada zaman modern sekarang ini, perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dalam
pengolahan pangan sangat pesat, sehingga dapat dilakukan perhitungan secara
rumit dan teliti untuk menghasilkan “sterilisasi komersial”. Agar memungkinkan
produk tetap awet, tanpa harus merusak nilai gizi, cita rasa, dan tekstur dalam
skala besar, maka proses sterilisasi harus memadai. Prinsip dasar proses termal
diambil dari ilmu termobakteriologi dengan memanfaatkan kaidah perambatan dan
penetrasi panas, serta sifat daya tahan panas mikroba, khususnya spora bakteri
(Sahubawa L, 2014). Pengalengan
merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat
(hermetis) dan disterilkan dengan panas > 100°C. Secara garis besar, proses
pengalengan bahan-bahan pangan dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
persiapan bahan mentah, blansir, pengisian bahan kedalam kemasan, pengisian
larutan media, penghampaan udara (exhausting), proses sterilisasi, pendinginan
dan penyimpanan (Sahubawa L, 2014). Proses
sterilisasi dalam pengalengan bertujuan untuk membunuh mikrobia pada produk
pangan dan wadahnya. Destruksi panas dalam sterilisasi dapat memberi efek membunuh
atau hanya menyebabkan injury (luka). Mikrobia yang mengalami injury dapat
sehat kembali pada masa penyimpanan, sehingga dapat menyebabkan kerusakan
pangan dan menyebabkan penyakit (Kristi D, 2017).
Teknik pengawetan makanan dengan pengalengan perlu mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain resistensi mikroorganisme terhadap panas, laju penembusan panas ke dalam bahan makanan yang mempunyai konsistensi yang berbeda-beda dan ukuran wadah tempat makanan tersebut dikemas. Bakteri terpenting yang harus dimusnahkan dari makanan yang dikalengkan adalah Clostridium botulinum, yaitu bakteri anaerob yang mampu menghasilkan toksin yang sangat mematikan (Radji M, 2013). Selama tahun 2015 BPOM mencatat 61 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia. Dilaporkan jumlah orang yang terpapar sebanyak 8.263 orang, sedangkan kasus KLB keracunan pangan (case) yang dilaporkan sebanyak 2.251 orang sakit dan 3 orang meninggal dunia (Anwar M, 2017). Clostridium sp adalah bakteri gram positif berbentuk batang anaerobik atau mikroaerofilik yang menghasilkan endospora. Clostridium botulinum biasa terdapat pada makanan kaleng dengan PH > 4,6, bakteri ini menghasilkan toksin biologis yang kuat yang dikenal dapat menginfeksi manusia (Sari N, 2018).
Kerusakan mikrobiologi dapat mengakibatkan terjadinya penggembungan kaleng karena terbentuknya gas oleh mikroba, terutama gas CO² dan H. Penampakan kaleng yang kembung dapat dibedakan atas beberapa jenis sebagai berikut : (1). Flipper yaitu kaleng terlihat normal, tetapi bila salah satu tutupnya ditekan dengan jari, tutup yang lainnya akan menggembung, (2). Springer yaitu salah satu tutup terlihat normal (tidak kembung), sedangkan tutup yang lainnya kembung. Jika bagian yang kembung ditekan, bagian ini akan masuk ke dalam, sedangkan tutup lainnya akan menjadi kembung, (3). Soft Swell yaitu kedua tutup kaleng kembung tetapi tidak keras dan masih dapat ditekan dengan ibu jari, (4). Hard Swell yaitu kedua tutup kaleng kembung dan keras sehingga tidak dapat ditekan dengan ibu jari (Irianto K, 2013). Penyebab adanya kontaminasi bakteri Clostridium botulinum pada sarden kemasan kaleng disebabkan karena makanan diperoleh dari sumber yang tidak bersih, alat yang digunakan pada proses pengalengan tercemar, serta proses pengawetan yang kurang sempurna. Pada proses pengiriman produk terjadi keteledoran saat pemasokannya seperti produk kaleng dalam kondisi penyok dan juga kurangnya perhatian pihak pedagang terhadap produk yang sebaiknya sudah tidak di pasarkan tetapi masih saja dijual dalam kondisi berkarat (Supenah P, 2019).
Clostridium
botulinum adalah basilus anaerobik gram positif yang menghasilkan spora tahan
panas. Bakteri ini dapat tumbuh baik pada media biakan biasa. Pertumbuhan
paling subur terjadi pada 25°C, tetapi juga tumbuh baik pada 20-35°C. Organisme
ini, yang terdapat tunggal atau kadang-kadang berpasangan atau dalam rantai
berukuran 0,5-0,8 x 3-8 um dengan sisi sejajar dan ujung membulat. Sporanya
berbentuk bulat telur dan letaknya subterminal (dekat ujung) dan sedikit
membengkak sehingga memberikan bentuk menggelembung pada sel. Clostridium
botulinum dapat bergerak dengan flagella penetricha dan tidak membentuk kapsul
(Irianto K, 2013). Penyakit
infeksi yang disebabkan oleh Clostridium botulinum disebut dengan botulisme,
yaitu suatu gejala intoksikasi akibat mengkonsumsi makanan yang tercemar oleh
toksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium botulinum. 14 Penyebab paling
sering adalah kontaminasi makanan dalam wadah kaleng, makanan yang disimpan
dalam kondisi kedap udara atau makanan yang diasap dengan rempah-rempah dan
dimakan tanpa dimasak lagi. Dalam makanan seperti ini, Clostridium
botulinumakan tumbuh dalam suasana anaerob dan menghasilkan toksin (Radji M,
2013).
Toksin
Clostridium botulinum merupakan substansi paling toksik. Beberapa strain
Clostridium botulinum pembentuk toksin menghasilkan bakteriofage yang dapat
menginfeksi strain nontoksigenik dan mengubahnya menjadi toksigenik. Racun
botulinum sangat mirip dalam struktur dan fungsi terhadap toksin tetanus tetapi
berbeda secara efek klinis karena mereka menargetkan sel-sel yang berbeda dalam
sistem syaraf. Botulinum neurotoksin dominan mempengaruhi sistem syaraf perifer
mencerminkan preferensi toksin untuk stimulasi motor neuron pada sambungan
neuromuskuler. Gejala dimulai 18 – 24 jam setelah makan makanan yang beracun
dengan gangguan penglihatan (inkoordinasi otot-otot mata dan penglihatan
ganda), ketidakmampuan menelan, kesulitan bicara, tanda-tanda paralisis bulbar
berjalan progresif dan kematian terjadi karea paralisis pernafasan atau henti
jantung. Gejala gastrointestinal biasanya tidak menonjol, tidak ada demam dan
penderita yang sembuh tidak membentuk antitoksin dalam darah (Zulfyana A,
2017). Spora sangat tahan terhadap pemanasan
dan dapat tetap hidup selama beberapa jam pada proses perebusan, tetapi
toksinnya dapat hancur dengan pemanasan. Karena itu memasak makanan pada suhu
80°C selama 30 menit bisa mencegah foodborne botulism. Tetapi makanan yang
tidak dimasak dengan sempurna bisa menyebabkan botulisme jika disimpan setelah
dimasak karena bakteri dapat menghasilkan toksin pada suhu di bawah 3°C.
Penting untuk memanaskan
makanan kaleng sebelum disajikan. Makanan kaleng yang sudah rusak bisa
mematikan dan harus dibuang. Bila kalengnya penyok atau bocor harus segera
dibuang, hindari kontak kulit dengan penderita dan selalu mencuci tangan segera
setelah mengolah makanan (Sarahfyana, 2013).
DAFTAR REFERENSI
Anwar M. 2017.
Pemeriksaan ALT (Angka Lempeng Total) Pada Makanan Di Warung Acil Kota Baru,
Kelurahan Dadi Mulya, Samarinda Tahun 2017. Publication Manuscript, 1-11.
Irianto K. 2013.
Mikrobiologi Medis. Bandung: Alfabeta.
Kristi D. 2017. Deteksi
Bakteri Enteropatogenik Pada Produk Kemasan kaleng Yang Diperoleh Dari warung
Tradisional dan Pasar Swalayan. Prosiding Seminar Nasional dan Call For Papers,
603-614
Radji M. 2013. Buku Ajar
Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sahubawa L. 2014. Teknologi
Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Sarahfyana. 2013.
Clostridium botulinum. 1-6.
Sari N. 2018. Bakteri
Clostridium sp (Morfologi dan Patogenitas Bakteri Anerob Penyebab Infeksi Pada
Manusia). Banjarbaru: Akademi Analis Kesehatan Borneo Lestari.
Zulfyana A. 2017.
Clostridium botulinum. Academia
Komentar
Posting Komentar