PERAN MIKROBIOTA USUS DALAM SISTEM KEKEBALAN TUBUH MANUSIA
PERAN MIKROBIOTA USUS DALAM SISTEM KEKEBALAN TUBUH
MANUSIA
Depertemen Keilmiahan Divisi Keilmuan
Unit Penelitian Ilmiah Fakultas Biologi Universitas
Jenderal Soedirman
UPI FABIO UNSOED
Sistem gastrointestinal manusia adalah rumah dari
sebagian besar mikroba seperti mikrobiota usus. Usus manusia memiliki sekitar
100 triliun sel-sel mikrobiota yang terdiri dari 1.000 spesies yang berbeda.
Mikrobiota merupakan suatu kumpulan yang komplek dari bakteri, archae, virus,
dan jamur yang pada umumnya hidup di setiap bagian tubuh manusia seperi kulit,
vagina, hidung dan mulut. Mikrobioma yang berasosiasi dengan manusia disebut
mikrobiota, namun penggunaan kata “mikrobioma” dan “mikrobiota” sering
digunakan bersamaan. Jumlah mikrobioma pada manusia paling banyak terdapat di
usus (Dietert, 2015). Bakteri pada mikrobioma manusia memiliki peran pada
imunitas, nutrisi, dan perkembangan manusia. Hasil penelitian mengatakan,
microbioma atau mikrobiota (kumpulan bakteri) pada setiap orang berbeda sebagai
akibat dari efek diet, gaya hidup, dan sumber bakteri di masa kecil (Prakash et al., 2011). Mikrobioma berperan pada
pengaturan proses biologis dan fisiologis tubuh. Adanya disfungsi sistem imun
dan kesalahan regulasi inflamasi merupakan penyebab non-communicable disease
and conditions (NCDs). Selain itu, gangguan pada mikrobioma dapat meningkatkan
risiko infeksi (Dietert, 2015). Dalam saluran gastrointestinal juga ditemukan
sejumlah besar mikroorganisme (mikroflora) yang dalam keadaan eubiosis (status
seimbang antar populasi bakteri di dalam saluran
Collado et
al. (2006) menyatakan bahwa pencegahan NCDs dapat dilakukan dengan
memperhatikan mikrobioma sejak awal kehidupan. Sistem gastrointestinal bayi
akan memberikan lingkungan baru bagi kolonisasi mikroba. Mikrobiota bayi yang
dilahirkan dengan persalinan normal memiliki kemiripan dengan mikrobiota di
vagina ibunya pada 20 menit awal kehidupan. Spesies mikrobiota yang ditemukan
ialah Lactobacillus sp. dan Prevotella sp. Terdapat perbedaan antara
spesies mikrobiota bayi yang dilahirkan dengan persalinan normal dan operasi
sesar. Mikrobiota pada bayi yang dilahirkan secara sesar yaitu Clostridium sp., Staphylococcus sp., Propionobacterium
sp., dan Corynebacterium sp. (Gritz,
2015). Mikrobioma di saluran gastrointestinal bayi yang baru lahir akan serupa
dengan mikrobioma orang dewasa selama tahun pertama kehidupannya. Seiring
dengan pertambahan usia akan terjadi perubahan mikrobioma karena dipengaruhi
oleh ASI, demam, pengenalan terhadap makanan pendamping ASI, dan penggunaan
antibiotik (Ursell et al., 2012). Di
plasenta terdapat berbagai mikrobiota seperti Firnicutes, Tenericutes, Proteobacteria, Bacteroidetes, dan Fusobacteriaphyla. Mikrobiota tersebut
sama dengan mikrobiota yang terdapat di mulut manusia. Pada minggu pertama awal
kehidupan, kolonisasi mikrobiota di usus dipenuhi oleh Actinobacteria, Proteobacteria, Bacteroidetes, dan Firmicutes. Mikroba yang terdapat di
meconium sama dengan mikroba di cairan amnion karena ketika sistem saraf janin
mulai berkembang, janin dapat menelan cairan amnion. Oleh karena itu,
lingkungan usus janin dapat menjadi tempat kolonisasi mikroba sehingga tidak
steril (Sudarmono, 2016).
Gambar 1. Mikrobiota usus dalam perkembangan dan penyakit. Pengaruh dari
mikrobiota usus terhadap kesehatan
manusia adalah berkelanjutan dari lahir hingga dewasa. Faktor lingkungan, faktor nutrisi, dan faktor telah
dilibatkan dalam perkembangan untuk simbiosis
dari kesehatan usus dan mikrobiota (Nicholson et al., 2012).
Menariknya, setiap perubahan makanan diikuti dengan
perubahan pada mikrobiota pencernaan dan peningkatan ekspresi gen. Sebagai
contoh, pada bayi yang mulai mengenal makanan dewasa, ekspresi gen mikrobioma
terkait biosintesis vitamin dan pencernaan polisakarida meningkat. Dengan
demikian, interaksi antara mikrobiota manusia dan lingkungan menjadi amat
dinamis (Ursell et al., 2012). Mikrobiota juga mensintesis vitamin
(seperti biotin dan folat) dan membantu penyerapan unsur makanan (termasuk
magnesium, kalsium dan zat besi) (O'Hara, 2006). Archae seperti Methanobrevibacter smithii terlibat
dalam pemindahan produk akhir fermentasi bakteri seperti hidrogen (Sherwood et al., 2013).
Interaksi fungsional
antara mikrobiota dan sistem kekebalan usus dimulai dengan bakteri komensal
yang mempromosikan lingkungan anti-inflamasi. Dalam konteks simbiosis, MAMPs
terus merangsang IECs untuk mengeluarkan regenerasi γ REGIII ke lumen, thymus
stroma lymphopoietin (TSLP), IL-33, IL-25, dan pertumbuhan tumor factor β (TGF-β)
di bawah epitel. Mediator imunologi mendorong perkembangan makrofag tolerogenic
dan DC tolerogenic (Maynard et al., 2012). DC tolerogenic menghasilkan TGF- β
dan asam retinoat (RA) yang merangsang perkembangan sel-sel peraturan T. Dengan
demikian, melalui sel-sel Treg (yang menggunakan mekanisme beragam regulasi),
makrofag (yang menghasilkan IL10), dan DC tolerogenik, sistem kekebalan usus
mampu membangun dan memelihara lingkungan anti-inflamasi. Selain peran regulasi
penting dari TGF- β, sitokin ini dikaitkan dengan zat epitel yang diturunkan
lainnya (seperti sel B activating factor (BAFF) dan proliferasi-inducing ligand
(Aprill)), dalam rangka mendorong pengembangan IgA- memproduksi sel (sel
plasma) (Fagarasan et al., 2010). Immunoglobulin
ini mampu mencegah pengikatan bakteri komensal pada epitel inang dan dengan
demikian terlibat dalam pembentukan usus mikrobiota (Macpherson et al., 2012). Dalam konteks dysbiosis,
kehadiran patogen dapat mengganggu lingkungan antiinflamasi diatur ini. Ketika
patogen enterik mengatasi bakteri komensal, ketidakseimbangan antara komensal
dan bakteri patogen menyebabkan pembebasan yang signifikan dari MAMPs.
Peningkatan MAMPs ini dapat menginduksi IECs, DC diaktifkan, dan makrofag untuk
mengeluarkan sitokin inflamasi seperti IL1 β, IL-6, IL-12, dan IL-23.Sitokin
ini merangsang perkembangan efektor CD4 + T helper 1 (TH1) sel dan sel TH17
(yang memproduksi IL-17A, IL-17F, dan IL-22) yang mengakibatkan peradangan
kronis (Maynard et al., 2012). Dalam
konteks ini, IL-22 sitokin memiliki peran penting. Molekul ini, diproduksi oleh
sel TH17 dan oleh sel kekebalan bawaan (seperti NK-sel dan sel γδ T), bertindak
pada sel-sel epitel usus dengan menginduksi ekspresi beberapa AMP sebagai γ
REGIII dan β REGIII yang secara langsung mempengaruhi mikrobiota. Menariknya,
sel proinflamasi diaktifkan tampaknya bekerja baik dalam simbiosis dan
dysbiosis. Namun, dalam kasus simbiosis, sel-sel proinflamasi yang dikendalikan
dengan mekanisme pengaturan (DC tolerogenic dan makrofag dan sel peraturan T)
dan berkontribusi dengan melepaskan IL-22, yang mempromosikan produksiγ REGIII
oleh IECs dan membantu untuk melindungi barrier epitel (Maynard et al., 2012).
Beberapa penelitian lain
mencoba untuk mengidentifikasi metabolit dari mikrobiota dapat mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan homeostasis. Dalam konteks ini, Smith et al. (2013) menunjukkan bahwa tikus
yang bebas bakteri memiliki penurunan yang signifikan pada konsentrasi tiga
jenis yang paling melimpah dari asam lemak rantai pendek (SCFA: asam asetat,
asam propionat, dan asam butirat) menunjukkan hubungan antara molekul-molekul
dan kekebalan masalah yang dihadapi oleh jenis tikus. Untuk memperjelas
pertanyaan ini, tikus bebas bakteri diobati dengan SCFA (individual atau dalam
kombinasi) selama 3 minggu. Seperti yang diharapkan, tikus ini menunjukkan
peningkatan frekuensi dan jumlah sel Treg kolon, yang tidak terjadi dengan TH1
atau TH17 sel. Perlakuan SCFA juga mampu menginduksi peningkatan FoxP3 dan
IL-10 ekspresi gen dan IL-10 produksi, menunjukkan bahwa SCFA dapat menginduksi
khusus + IL-10- memproduksi sel Treg FoxP3. Selain itu, pengobatan SCFA mampu
juga untuk mengurangi gejala T sel model-transfer kolitis. Secara kolektif,
hasil ini menunjukkan bahwa SCFA memainkan peran penting dalam mempertahankan
homeostasis melalui sel-sel Treg. Perubahan fungsi penghalang gastrointestinal,
yang disebabkan oleh perubahan diet, juga dapat mengembangkan endotoxemia
(Pendyala et al., 2012). Selama
dysbiosis, usus mikrobiota dapat menghasilkan tingkat tinggi endotoksin, dalam
aliran darah menyebabkan induksi ringan dan berkesinambungan mediator
proinflamasi, yang mengakibatkan peradangan sistemik ringan. Bagian inflamasi
ini berkontribusi pada perkembangan banyak penyakit manusia, termasuk obesitas,
diabetes tipe 2, hati dan penyakit kardiovaskular, dan penyakit inflamasi usus
(Hasibuan, 2017).
DAFTAR
PUSTAKA
Dietert
R.R, & Dietert J.M., 2015. Review: the microbiome and sustainable
healthcare. Healthcare. 3, pp. 100-129.
Collado,
M.C., Surono, I.S., Meriluato, J., & Salminen, S. 2006. Potencial probiotic characteristic of Lactobacillus and
Enterococcuc strain isolated from traditional dadih fermented milk against pathogen intestinal colonization. J Food Protection, 70(3), pp. 700-705.
Fagarasan,
S., Kawamoto, S., Kanagawa, O dan Suzuki, K. 2010. Adaptiveimmune regulation in the gut: T cell-dependent and T
cellindependent IgAsynthesis. Annual
Review of Immunology, 28(1),
pp. 243- 273.
Gritz, E.C.,
& Bhandari V., 2015. The human neonatal gut microbiome: a brief review. Frontiers
in Pediatrics 3, pp. 1-12.
Hasibuan,
F.E.B & Kolondam, B.J., 2017. Interaksi Antara Mikrobiota Usus dan Sistem Kekebalan Tubuh Manusia. Jurnal Ilmiah Sains, 17(1), pp. 35-42.
Macpherson,
A.J., Geuking, M.B. & McCoy, K.D., 2012. Homeland Security: IgA immunity at the frontiers of the body. Trends in Immunology, 33(4), pp. 160-166
Maynard,
C. L., Elson, C. O., Hatton, R. D., & Weaver., C. T., 2012. Reciprocal
interactions of the intestinal
microbiota. Nature 489, pp. 231-241.
Pendyala,
S., Walker, J. M. & Holt, P. R., 2012. A high-fat diet is associated with
endotoxemia that originates from the
gut. Gastroenterology, 142(5), pp. 1100–1101.
Prakash,
S., Rodes, L., Charley, M.C., & Duchesneau, C.T., 2011. Gut microbiota:
next frontier in understanding human
health and development of biotherapeutics. Biologics:
Targets and Therapy, 5, pp. 71-
86.
Ursell,
L.K., Metcalf J.L., Parfrey L.,W. & Knight R., 2012. Defining the human
microbiome. Nutr Rev. 70, pp. 38-44.
Komentar
Posting Komentar